السلام عليكم ورحمةالله وبر كاته selamat datang di blog saya,mohon maaf jika ada kekurangan,kesalahan dan kelebihannya yang datangnya dari saya dan kesempurnaan hanya milikNYA...^_^ selamat membaca dan silahkan pilih NASYID yang anda suka ^_^ semoga bermanfaat

Sabtu, 21 Mei 2011

10 Gangguan Syaitan Semasa Shalat








==>1) Was Was Semasa Melakukan Takbiratul Ihram
Ketika mulai membaca takbiratul ihram :"Allahu Akbar" ,ia ragu apakah takbir yang di lakukannya sudah sah ataukah belum.Sehingga ada yang mengulanginya lagi dengan membaca takbir.Peristiwa tersebut terus menerus terulang ,terkadang sampai imammnya hampir rukuk.
Ibnul Qayyim berkata ,"termasuk tipu daya syaitan yang banyak mengganggu mereka adalah was was dalam bersuci (berwudhu) dan niat atau semasa takbiratul ihram dalam shalat."


==>2) Tidak Khusyuk Semasa Membaca Bacaan Dalam Shalat
Sahabat Rasulullah SAW yakni Uthman bin Abil 'Ash datang kepada Rasulullah dan mengadu ,"Wahai Rasulullah ,sesungguhnya syaitan telah hadir daam shalatku dan membuat bacaanku salah ."
Rasulullah SAW menjawab,"itulah syaitan yang di sebut dengan khinzib .Apabila kamu merasakan kehadirannya ,maka meludahlah ke kiri tiga kali dan berlindunglah kepada ALLAH swt.Akupun melakukan hal itu dan ALLAH swt menghilangkan gangguan itu dariku ."(HR.Muslim)
Read More..

MAKRUHNYA SEORANG BAPAK MELEBIHKAN SEBAGIAN ANAKNYA ATAS YANG LAIN DALAM PPEMBERIAN HADIAH(HIBAH)




Dari an-Nukman Ibn Basyir r.a,sesunggguhnya ayahnya membawanya kepada Rasulullah SAW dan dia berkata :" sesungguhnya aku telah memberikan kepada anakku ini budak kepunyaanku." Maka Rasulullah SAW bertanya :" Apakah semua anakmu kamu berikan seperti apa yang kamu berikan pada anak ini?" Ia menjawab :"Tidak" Maka Rasulullah SAW bersabda :" Kalau begitu ambil kembali (batalkan pemberian itu)!"Dan dalam satu riwayat : "Maka Rasulullah SAW bertanya: " Apakah kamu melakukan hal ini (memberi hadiah) kepada semua anakmu ?"Ia menjawab :" Tidak !"Rasulullah SAW bersabda :" Takutlah kepada ALLAH ,dan berbuat adil lah kepada anak-anakmu!"
maka Ayah kemudian pulang dan membatalkan pemberian itu."


Dan dalam satu riwayat :
Read More..

Selasa, 17 Mei 2011

OH........ AKHWAT



Bismillaahir Rahmaanir Rahiim….

Oh… Akhwat
Wanita anggun pembasmi maks...iat
Busananya rapi menutup aurat
Paling anti pake pakaian ketat
Katanya sich, ini salah satu ciri muslimah yang taat

Oh… Akhwat
Rajin mengaji dan tahajud dimalam yang pekat
Alasannya, biar selamat dunia dan akhirat
Ngga lupa dia doa dan munajat
Agar mendapat teman sejati dalam waktu cepat

Oh… Akhwat
Aktivitasnya begitu padat
Kuliah, organisasi sampe-sampe sehari 3 x ngikutin rapat
Ada juga yang ngajar TPA dan ngajar privat
Demi Allah, semua dilakukan dengan semangat

Oh… Akhwat
Tapi hari ini kok seperti kurang sehat?
Badan lesu dan muka keliatan pucat
Jalannya lunglai dibawah terikan matahari yang menyengat
Ooo.. ternyata dia, magh nya lagi kumat
(Abis… waktu sarapan cuma makan sepotong kue donat!)

Oh… Akhwat
Banyak juga yang berjerawat
Dari yang kecil-kecil sampe yang segede tomat
Padahal sudah nyobain semua sabun dan juga obat
( Sabar… sering wudhu lama2 juga ilang, Wat!)
Lihat Selengkapnyashared by : Mencintai karena Allah " Uhibbuki fillah "
Read More..

Rabu, 11 Mei 2011

WASIAT ROSULULLOH S.A.W. KEPADA AISYAH




Saiyidatuna 'Aisyah r.'a meriwayatkan : Rasulullah SAW bersabda :
"Hai Aisyah, aku berwasiat kepada engkau. Hendaklah engkau senantiasa mengingat wasiatku ini. Sesungguhnya engkau akan senantiasa di dalam kebajikan selama engkau mengingat wasiatku ini..."

Intisari wasiat Rasulullah s.a.w tersebut dirumuskan seperti berikut: Hai, Aisyah, peliharalah diri engkau. Ketahuilah bahwa sebagian besar daripada kaum engkau (kaum wanita) adalah menjadi kayu api di dalam neraka.



Diantara sebab-sebabnya ialah mereka itu :

*
Tidak dapat menahan sabar dalam menghadapi kesakitan (kesusahan), tidak sabar apabila ditimpa musibah
*
tidak memuji Allah Taala atas kemurahan-Nya, apabila dikaruniakan nikmat dan rahmat tidak bersyukur.
*
mengkufurkan nikmat; menganggap nikmat bukan dari Allah


*
membanyakkan kata-kata yang sia-sia, banyak bicara yang tidak bermanfaat.

Wahai, Aisyah, ketahuilah :
Read More..

Jumat, 06 Mei 2011

Dalil-Dalil Utama Salafush-Shalih yang Membolehkan Nyanyian dan Musik (Bagian II)

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, ketika ana menulis tulisan tentang perbedaan pendapat ulama Salaf tentang musik ini, yaitu sebagai bagian dari uraian ilmiah ana, bahwa perbedaan (ikhtilaf) di kalangan Salaf yang disandarkan kepada dalil shahih bisa lebih dari 1 pendapat, dan hendaknya orang-orang yang adil dan berilmu saat meniti jalan salaf tidak mencoba menggiring-giring dan membodoh-bodohi ummat yaitu dengan hanya menyampaikan 1 pendapat hasil tarjih sebagian mereka, kemudian meng-klaim-nya sebagai satu-satunya representasi pendapat Salaf dan memvonis pendapat yang berbeda, namun hendaklah mereka iltizam (komitmen) dengan manhaj Salaf, yaitu menjelaskan semua pendapat dan menghormatinya sepanjang semuanya didasarkan kepada dalil shahih.

Ketika ana sudah mulai menulis, ana ditaqdirkan ALLAAH SWT berkunjung ke Malaysia karena tugas dakwah dengan beberapa asatidz, dan saat ana kesana -dengan izin ALLAAH pula- ana sempat membaca sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shaleh Kamil yang merupakan gabungan sekaligus intisari, dari berbagai tulisan-tulisan Syaikh Al-Qaradhawi tentang musik, yang diambil dari kitab-kitab beliau Al-Halal wa Al-Haram, Fatawa Al-Mu’ashirah, Malamih Mujtama’ Al-Muslim, Al-Islam wa Al-Fann, dll.

Sungguh kitab tersebut amat padat dan berisi -Semoga ALLAAH SWT membalas kebaikan yang banyak atas jasa Syaikh Shaleh atas juhudnya ini-, maka ana putuskan untuk menyampaikan (ringkasan atas ringkasan) dari buku tersebut untuk ikhwah wa akhwat fiLLAAH disini, karena tidak mungkin semuanya (disamping karena menjaga hak penulis, juga kitab tersebut cukup tebal hampir 500 halaman). Sehingga akan ana sampaikan khulashah pentingnya saja, berikut -sebagaimana biasa- ana lengkapi dengan berbagai muraja’ah takhrij baik terhadap kitab-kitab referensinya di kalangan Salaf maupun takhrij atas hadits-haditsnya semampu ana, semoga semakin menambah manfaatnya bagi ikhwah wa akhwat fiLLAAH semua, wamaa taufiiqii illa biLLAAHi ‘alayHI tawakkaltu wa ilayHI uniib…

Hujjah Kedua Berikut Bantahannya

Read More..

Dalil-Dalil Utama Salafush-Shalih yang Membolehkan Nyanyian dan Musik (Bagian I)

Assalamu ‘alaykum…

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, sebagai salah satu contoh dari pembahasan kita yang lalu tentang berbagai perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah-fiqhiyyah yang masing-masing memiliki kekuatan hujjah serta dalil yang shahih, akan ana bahas di sini contoh yang berkaitan dengan masalah nyanyian dan musik..

Di berbagai website dan millist diposting fatwa-fatwa yang ulama mengharamkan nyanyian dan musik, dan ini menurut ana -demi ALLAAH- adalah baik, karena para pemusik akhir-akhir ini sudah banyak yang terjerumus kepada perilaku ghuluww (berlebihan) yang memang diharamkan, bahkan ada pula yang sudah terjatuh kepada syirik karena bait-bait syairnya sudah menyentuh esensi tauhid kepada ALLAAH Yang maha Tinggi lagi Maha Esa..

Tetapi yang menjadi masalah, adalah jika hal ini kemudian dianggap sudah qath’iy (pasti kebenarannya) lalu celaan dan vonis dilontarkan seolah-olah masalah ini sudah muttafaq-‘alayh (disepakati kebenarannya) di kalangan kaum Salaf, kemudian yang lebih parah hal inipun diikuti dengan tuduhan-tuduhan muttabi’ul-hawa’ (para pengikut hawa nafsu), ‘abdul-kuffar (pengabdi orang kafir) oleh sebagian kaum juhala’ terhadap fatwa para ulama yang berbeda dalam masalah ini, maka ini sikap seperti ini adalah telah menyimpang dan harus diluruskan..

Ikhwah wa akhwat a’anakumuLLAAH, jika kalangan ulama mujtahidun masing-masing mereka bersikap keras dan tegas dengan pendapatnya masing-masing, maka yang demikian itu memang dibolehkan, karena hal demikian adalah demi untuk menegakkan hujjah dan menjelaskan dalil masing-masing pihak di antara mereka, dan yang demikian ini biasa di kalangan salaf, tapi jika sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya, maka hal ini hanyalah menunjukkan kebodohan dan lemahnya ilmu serta rendahnya akhlaq belaka..

Mengapakah para muqallidin (pengikut) ini ikut-ikutan bersikap-keras dan mencela serta memvonis? Apakah mereka sedang menegakkan hujjah, maka hujjah apakah itu namanya, jika cuma bisa meng-copy fatwa Syaikh Fulan dan ustaz Fulan? Siapakah mereka sehingga berani menyalahkan ulama mujtahid yang berbeda dengan mereka, yang pendapatnya juga disandarkan kepada dalil yang shahih? Tidaklah hal yang demikian ini kecuali hanya menunjukkan tong kosong yang berbunyi nyaring dan juga berakhlaq kering, salaamun ‘alaykum laa nabtaghil jaahiliin..

Arti Bahasa

Nyanyian/lagu (الغناء / dengan huruf ‘ghin’ yang ber-harakat kasrah): diartikan melebihkan/memperindah[1] sebagaimana dalam hadits “Bukan golonganku orang yang tidak melebihkan/memperindah suara saat membaca Al-Qur’an[2]”; juga diartikan suara, keindahan dan kecantikan[3]; nyanyian, tabuhan, senandung/nasyid, bacaan yang nyaring dan merdu[4] sebagaimana dalam hadits: “Tidaklah ALLAAH SWT lebih menyukai sesuatu daripada mendengar bacaan Nabi-NYA yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu[5]” Atau dalam hadits lainnya: “Hiasilah Al-Qur’an itu dengan suaramu, karena suara yang indah akan menambahkan keindahan Al-Qur’an”[6]; juga bermakna alat musik[7] juga Sya’ir[8] sebagaimana yang dilakukan Al-Hasan bin Tsabbit ra ahli sya’ir di masa nabi SAW; tapi ia juga bisa bermakna (اللهو/melalaikan), sebagimana dalam ayat (لهو الحديث)[9] atau dalam ayat yang lain (اولهوا)[10]. Jadi nampak jelaslah bahwa ia memiliki dua makna yang berbeda, makna yang baik (sebagaimana dalam hadits-hadits di atas) maupun makna yang yang buruk (sebagaimana dalam ayat-ayat di atas), sehingga membawa makna yang hakiki hanya pada satu makna saja, hanyalah sebuah kezhaliman belaka.

Dalil-Dalil Al-Qur’an yang Dianggap Mengharamkan dan Bantahannya

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.[11]”

Ada atsar shahih dari Ibnu Mas’ud ra yang bersumpah dengan berkata: “Demi ALLAAH maksudnya adalah nyanyian.[12]” Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa tafsir sahabat ra sederajat dengan hadits marfu’, demikian pendapat Al-Hakim dan Ibnul Qayyim[13], sehingga tafsir ini dianggap merupakan satu-satunya tafsir atas ayat tersebut.

Pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama Salaf lainnya, bahwa pendapat tafsir sahabat ra sederajat dengan hadits marfu’ tidak benar kecuali jika mengenai sabab-nuzul ayat saja, karena seringkali antara seorang sahabat ra dengan sahabat ra yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan sebuah ayat, maka bagaimana mungkin disetarakan dengan hadits marfu’[14]?

Diantara mereka yang tidak setuju dengan pendapat tafsir sahabat ra sederajat dengan hadits marfu’ ini adalah Imam Ibnu Hazm beliau –rahimahuLLAAH- berhujjah sbb: 1) Tidak ada seorangpun yang pendapatnya ma’shum kecuali Nabi SAW, 2) Tafsiran tersebut berbeda dengan tafsiran sahabat ra dan tabi’in yang lainnya, 3) Nash ayat itu sendiri sudah membantah hujjah mereka sendiri.

Ana berkata: Benarlah apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm tersebut, berkaitan dengan point (2) yang dikatakannya misalnya, tafadhal dilihat dalam tafsir Ulama Salaf atas ayat tersebut, bahwa terjadi perbedaan pendapat tentang makna ayat ini, ada yang berpendapat maknanya adalah “nyanyian dan musik[15]”; ada yang berpendapat maknanya adalah “kata-kata yang batil” ada yang berpendapat maknanya adalah “syirik”[16]. Bahkan Syaikhul Mufassir di kalangan Ulama Salaf sendiri, yaitu Imam At-Thabari setelah menyebutkan perbedaan pendapat tentang tafsir ayat ini berkata: “Yang benar menurut pendapatku adalah: Segala sesuatu perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAAH, maka semua itu yang termasuk yang dilarang oleh ALLAAH dan Rasul-NYA, karena ALLAAH SWT menjelaskan dengan lafzh yang umum (‘amm) dan IA tidak mengkhushuskannya dengan sesuatu pun, maka ia tetap pada keumumannya sampai adanya dalil tentang pengkhushusan maknanya, maka baik itu musik, atau syirik semuanya bisa saja menjadi maknanya.[17]” SELESAI KUTIPAN DARI IMAM AT-THABARI

Adapun berkaitan dengan hujjah ke (3) yang dikatakannya juga benar –dengan izin ALLAAH, insya ALLAAH- karena ayat tersebut mengancam pelakunya menjadi kufr biduni khilaf (kafir tanpa khilaf lagi), sementara tidak ada keterangan Salaf yang menyatakan bahwa bermain musik menjadikan pelakunya menjadi kafir sebagaimana ancaman dalam ayat ini[18], Imam Ibnu Athiyyah juga berpendapat kafirnya pelaku dalam ayat ini[19], Imam Ar-Razi menyatakan bahwa demikian jahatnya pelaku yang dicela dalam ayat ini, karena mereka bersifat: (1) Menjual ayat ALLAAH dengan harga murah, (2) Bersikap sombong luar-biasa, yang dicirikan dengan kalimat (مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْها) takabbur yang sangat, (3) Hati yang keras membatu tidak bisa menerima kebenaran (كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا)[20]; maka kesemuanya itu tidak mungkin dikarenakan hanya karena ia adalah seorang pemusik atau ia suka mendengarkan musik. WaliLLAAHil hamdu wal minah..

(Bersambung insya ALLAAH tabaraka wa ta’ala…)

___
Catatan Kaki:

[1] Al-Muhith fil Lughah, I/421

[2] HR Bukhari, Bab Man Lam Yataghanna bil Qur’an, XVII/20

[3] Jamharah Al-Lughah, II/108; juga II/27

[4] Al-Mukhashshish, I/178

[5] HR Muslim, Bab Istihbab Tahsinu Shaut, V/204

[6] HR Al-Hakim, I/575; Abu Daud no. 1320; Ibnu Sa’ad, VI/90; dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, II/414

[7] Al-Mu’jam Al-Wasith, II/241

[8] Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’, I/335

[9] QS Luqman, 31/6

[10] QS Al-Jum’ah, 62/11

[11] QS Luqman, 31/6

[12] HR Al-Baihaqi, dalam Al-Kubra’, X/223

[13] Ighatsatu Lahfan, I/258-259

[14] Al-Muhalla, IX/10

[15] Tafsir At-Thabari, XX/126

[16] Ibid, XX/129

[17] Ibid, XX/130

[18] Ana katakan: Bahkan ahlul-hadits setingkat Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya yang terkenal tentang dosa2 besar, yaitu Al-Kaba’ir tidak memasukkan nyanyian dan musik sebagai dosa besar yang mengkafirkan pelakunya, maka bagaimana ia bisa menjadi penyebab kekafiran sebagaimana diancam oleh ayat ini? Bahkan Imam Ibnul Qayyim yang mengharamkan nyanyian-pun menyatakan bahwa sifat2 dalam ayat ini tidak akan ada kecuali kepada orang yang amat kufur kepada ALLAAH (Lih. Penjelasannya dalam kitabnya Ighatsatu Lahfan, I/259). Fa’tabiru ya ulil albab..

[19] Al-Wajiz, XI/484

[20] Al-Kabir, XIII/141-142

Sumber : http://www.al-ikhwan.net/dalil-dalil-ulama-salafus-shalih-yang-membolehkan-nyanyian-dan-musik-bagian-i-159/
Read More..

Hukum Nasyid


sebelumya silahkan baca ini:

http://inginsholehah.blogspot.com/2011/05/dalil-dalil-utama-salafush-shalih-yang.html
dan
http://inginsholehah.blogspot.com/2011/05/dalil-dalil-utama-salafush-shalih-yang_06.html


Soal:

Bagaimana hukum terhadap nasyid yang sekarang ini beredar dan berkembang di tengah-tengah masyarakat (ikhwan dan akhwat). Jika diperbolehkan, apa syarat dan dalilnya apa? Tolong juga sertakan fatwa-fatwa para ulama tentangnya.

Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kami sampaikan bahwa mayoritas ulama -termasuk imam empat- berpendapat haramnya memainkan alat musik. Bahkan dalam hal ini tidak diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan Salaf. Walapun ada sebagian Khalaf membolehkannya, namun yang benar adalah pendapat Salaf. Di antara dalil yang mereka bawakan ialah:

Dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari, dia berkata: Abu 'Amir atau Abu Malik Al Asy'ari telah menceritakan kepadaku, demi Allah dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Nabi bersabda, "Benar-benar akan ada beberapa kelompok orang dari umatku akan menghalalkan kemaluan, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang benar-benar akan singgah ke lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang miskin mendatangi mereka untuk satu keperluan, lalu mereka berkata, 'Kembalilah kepada kami besok'. Kemudian Allah menimpakan siksaan kepada mereka pada waktu malam, menimpakan gunung (kepada sebagian mereka), dan merubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi sampai hari kiamat."[Hadits shahih, riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Asyribah; dan lainnya).

Ibnu Hazm men-dhaifkan hadits ini -dan diikuti oleh sebagian orang sekarang- dengan anggapan, bahwa sanad hadits ini terputus antara Bukhari dengan Hisyam bin 'Ammar.
Hal ini tidak benar, karena Hisyam adalah syaikh (guru) Imam Bukhari. Selain itu banyak perawi lain yang mendengar hadits ini dari Hisyam. [Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 38-51, karya Syaikh Al Albani.]

Maka jika nasyid itu diiringi alat musik, maka hukumnya haram. Permainan alat musik yang dikecualikan dari hukum haram, hanyalah rebana yang dimainkan oleh wanita pada saat hari raya atau sewaktu walimah pernikahan. Dengan syarat, isi nyanyiannya tidak mengandung kemungkaran atau mengajak kepada kemungkaran

Adapun nasyid yang tidak diringi alat musik, maka di bawah ini diantara fatwa para ulama sekarang:

Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Beliau membicarakan masalah nasyid ini dalam kitab Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 182-182. Sebelum menyampaikan masalah nasyid, beliau menjelaskan tentang nyanyian Shufi. Karena eratnya hubungan antara keduanya. Kami akan meringkas pokok-pokok yang disampaikan Syaikh tentang nyanyian Shufi. Kemudian, kami akan menukilkan penjelasan Beliau tentang nasyid.

Beliau menyatakan, bahwa kita tidak boleh beribadah kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah, sebagai realisasi syahadat Laa ilaaha illa Allah. Dan kita tidak boleh beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sebagai realisasi syahadat Muhammad Rasulullah. Dan kecintaan Allah hanya dapat diraih dengan mengikuti Nabi Muhammad.

Kemudian beliau berkata, "Jika hal ini telah diketahui, maka berdasarkan sabda Nabi: Agama itu nasihat. [HR Muslim dari Tamim Ad Dari.] Aku merasa berkewajiban mengingatkan saudara-saudara kami yang tertimpa musibah (karena) memperdengarkan atau mendengarkan nyanyian Shufi, atau yang mereka sebut 'nasyid-nasyid keagamaan', dengan nasihat sebagai berikut:

Pertama. Termasuk perkara yang tidak diragukan dan tidak samar oleh seorang 'alim-pun, dari kalangan ulama kaum muslimin yang mengetahui dengan sebenarnya terhadap fiqih Al Kitab dan As Sunnah, serta manhaj Salafush Shalih. Bahwa nyanyian Shufi merupakan perkara baru, tidak dikenal pada generasi-generasi yang disaksikan kebaikannya. [Yaitu generasi sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.]

Kedua. Sesungguhnya, termasuk perkara yang sudah diterima (perkara pasti) di kalangan ulama, bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah.

Ketiga. Termasuk perkara yang pasti di kalangan ulama, (yaitu) tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak disyari'atkan oleh Allah, walaupun pada asalnya hal itu disyari'atkan. Contohnya: adzan untuk shalat dua hari raya (padahal disyari'atkan adzan hanyalah untuk shalat wajib-pen); shalat raghaib; shalawat di saat bersin; dan lain-lain.

Jika (ketiga) hal itu telah diketahui, maka mendekatkan diri kepada Allah dengan perkara yang diharamkan Allah (seperti orang-orang Shufi yang bermain musik untuk mendekatkan diri kepada Allah, pen.) lebih utama sebagai hal yang diharamkan, bahkan sangat diharamkan. Karena dalam masalah tersebut terdapat penyelisihan dan penentangan terhadap syari'at. Bahkan, pada nyanyian Shufi terdapat perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir; dari kalangan Nashara dan lainnya.

Oleh karena itu para ulama -dahulu dan sekarang- sangat keras mengingkari mereka." [Diringkas dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 158-163.]

Kemudian Syaikh Al Albani menukilkan perkataan para ulama yang mengingkari nyanyian Shufi tersebut. Setelah itu beliau menjelaskan masalah nasyid, dengan menyatakan,"Dari fashl ke tujuh, telah jelas (tentang) sya'ir yang boleh dinyanyikan dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas pada (keterangan) yang sebelumnya, tentang haramnya semua alat musik, kecuali rebana untuk wanita pada hari raya dan pernikahan.

Dan dari fashl yang terakhir telah jelas, bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan apa yang telah di-syari'atkan Allah. Maka, bagaimana mungkin dibolehkan mendekatkan diri kepadaNya dengan sesuatu yang diharamkan?

Oleh karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian Shufi. Sangat keras pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang menghalalkannya.

Jika pembaca dapat mengingat-ingat prinsip-prinsip yang kokoh ini di dalam fikirannya. Maka, jelaslah baginya -dengan sangat nyata- bahwa tidak ada perbedaan hukum antara nyanyian Shufi dengan nasyid-nasyid keagamaan.

Bahkan terkadang, dalam nasyid-nasyid ini terdapat cacat yang lain. Yaitu, nasyid didendangkan dengan irama lagu-lagu tak bermoral, mengikuti kaidah-kaidah musik dari Barat atau Timur, yang dapat membawa pendengar untuk bergoyang, berdansa, dan melewati batas. Sehingga tujuannya ialah irama dan goyang, bukan semata-mata nasyidnya. Hal seperti ini merupakan penyelewengan yang baru. Yaitu menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak tahu malu.

Di sebalik itu, juga memunculkan penyimpangan lain. Yaitu menyerupai orang-orang kafir dalam berpaling dan meninggalkan Al Qur'an. Sehingga mereka masuk ke dalam keumuman pengaduan Rasulullah kepada Allah tentang kaumnya, sebagaimana dalam firman Allah,

Berkatalah Rasul,"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS Al Furqan:30).

Aku (Syaikh Al Albani) benar-benar selalu ingat dengan baik. Ketika aku berada di Damaskus -dua tahun sebelum hijrahku ke sini (Amman, Yordania)- ada sebagian pemuda muslim mulai menyanyikan nasyid-nasyid yang bersih (dari penyimpangan). Hal itu dimaksudkan untuk melawan nyanyian Shufi (yang menyimpang), seperti qasidah-qasidah Al Bushiri dan lainnya. Nasyid-nasyid itu direkam pada kaset. Kemudian tidak berapa lama, nasyid-nasyid itu diiringi dengan pukulan rebana. Untuk pertama kalinya, mereka mempergunakannya pada perayaan-perayaan pernikahan, dengan landasan bahwa rebana dibolehkan pada pernikahan.

Kemudian kaset itupun menyebar dan digandakan menjadi banyak kaset. Dan itupun tersebar penggunaannya di banyak rumah. Mulailah mereka mendengarkannya malam dan siang, baik ada acara ataupun tidak. Jadilah hal itu hiburan dan kebiasaan mereka. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena dominasi hawa-nafsu dan kebodohan terhadap tipuan-tipuan syaitan. Sehingga syaitan memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan Al Qur'an, apalagi mempelajarinya. Jadilah Al Qur'an sebagai sesuatu yang diacuhkan, sebagaimana tersebut di dalam ayat yang mulia tadi.

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya 3/317, "Allah berfirman memberitakan tentang RasulNya, NabiNya, Muhammad, bahwa beliau berkata,'Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan,' hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al Qur'an dan mendengarkannya; Sebagaimana Allah berfirman,

Dan orang-orang yang kafir berkata,"Janganlah kamu mendengar Al Qur'an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya … " (QS Fushshilat:26).

Kebiasaan orang-orang musyrik dahulu, jika dibacakan Al Qur'an, mereka memperbanyak kegaduhan dan pembicaraan tentang selain Al Qur'an. Sehingga mereka tidak mendengarnya. Maka, ini termasuk sikap mereka yang mengacuhkannya, tidak mengimaninya. Tidak meyakini Al Qur'an termasuk mengacuhkannya. Tidak merenungkan dan memahami Al Qur'an termasuk mengacuhkannya. Tidak mengamalkan Al Qur'an, tidak menjalankan perintahnya, dan tidak menjauhi larangannya, termasuk mengacuhkannya. Dan menyimpang dari Al Qur'an kepada selainnya, yang berupa sya'ir, pendapat, nyanyian, permainan, perkataan, atau jalan (teori) yang diambil dari selainnya, termasuk mengacuhkan Al Qur'an.

Maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah, Pemberi karunia, Yang Maha Kuasa terhadap apa yang Dia kehendaki, agar membersihkan kita dari apa-apa yang Dia murkai. Memudahkan kita mengamalkan apa yang Dia ridhai. Berupa menjaga kitabNya, memahaminya, dan melaksanakan kandungannya, pada waktu malam dan siang, sesuai dengan maksud yang Dia cintai dan ridhai. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Pemberi."[Sampai disini nukilan dari Ibnu Katsir, sekaligus selesailah perkataan Syaikh Al Albani. Tahrim Alat Ath Tharb, hal.182-182]

Pendapat Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ditanya masalah ini, dengan teks pertanyaan sebagai berikut: Banyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid Islami. Disana ada orang yang memfatwakan tentang bolehnya. Dan ada juga yang menyatakan, bahwa nasyid-nasyid Islami itu sebagai ganti kaset-kaset lagu-lagu. Maka, bagaimanakah pendapat anda (wahai Syaikh) yang terhormat?

Beliau menjawab,Penamaan ini tidak benar. Itu merupakan penamaan yang baru. Tidak ada yang dinamakan nasyid-nasyid Islami di dalam kitab-kitab Salaf, dan para ulama yang perkataannya terpercaya. Yang telah dikenal, bahwa orang-orang Shufi-lah yang telah menjadikan nasyid-nasyid sebagai agama bagi mereka. Itulah yang mereka namakan dengan samaa'.

Pada zaman kita, ketika banyak golongan-golongan dan kelompok-kelompok, jadilah setiap kelompok memiliki nasyid-nasyid pemberi semangat. Mereka terkadang memberinya nama dengan nasyid-nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar. Berdasarkan ini, maka tidak boleh memiliki nasyid-nasyid ini ataupun meramaikannya di tengah-tengah orang banyak. Wabillahit taufiq.[Majalah Ad Da'wah, no. 1632, 7 Dzulqa'dah 1418. Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 37]

Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya:

Apa hukum mendengarkan nasyid-nasyid? Bolehkah seorang da'i mendengarkan nasyid-nasyid Islami?

Beliau menjawab:

Aku sudah lama mendengar nasyid-nasyid islami, dan tidak ada padanya sesuatu yang harus dijauhi. Tetapi, akhir-akhir ini aku mendengarnya, lalu aku mendapatinya (telah) dilagukan dan didendangkan menurut irama lagu-lagu yang diiringi musik. Maka nasyid-nasyid dalam bentuk seperti ini, aku tidak berpendapat: orang boleh mendengarkannya.

Namun, jika nasyid-nasyid itu spontanitas, dengan tanpa irama dan lagu, maka mendengarkannya tidak mengapa. Tetapi dengan syarat, tidak menjadikannya kebiasaan selalu mendengarkannya.

Syarat yang lain. Janganlah menjadikan hatinya (seolah) tidak memperoleh manfaat, kecuali dengannya, dan tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya. Karena dengan menjadikannya kebiasaan, maka ia telah meninggalkan yang lebih penting. Dan dengan tidak memperoleh manfaat, serta tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya, berarti ia menyimpang dari nasihat yang paling agung. Yaitu, apa-apa yang tersebut di dalam kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Jika terkadang ia mendengarkannya (nasyid yang tidak mengandung larangan), atau ketika ia sedang menyopir mobilnya di perjalanan, dan ingin menghibur dalam perjalanan, maka ini tidak mengapa.[Kitab Ash Shahwah Al Islamiyyah, hal. 123. Disusun Abu Anas Ali bin Hasan Abu Luz; dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 39]

Di tempat lain beliau berkata,Melagukan nasyid Islam adalah melagukan nasyid yang bid'ah, yang diada-adakan oleh orang-orang Shufi. Oleh karena inilah sepantasnya meninggalkannya, dan beralih kepada nasihat-nasihat Al Qur'an dan As Sunnah.

Demi Allah, kecuali jika hal itu pada tempat-tempat peperangan untuk mengobarkan keberanian dan jihad fii sabilillah, maka ini baik. Jika nasyid itu diiringi dengan rebana (apalagi alat musik yang lain-pen), maka hal itu lebih jauh dari kebenaran. [Dari Fatawa Aqidah, hal. 651, no: 369, Penerbit Maktabah As Sunnah; Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 40.]

Pendapat Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad An Najmi

Beliau berkata,Kritikan ke sembilan belas (terhadap manhaj-manhaj dakwah yang ada di kalangan kaum muslimin, pen); Memperbanyak nasyid-nasyid, pada waktu malam dan siang, dan menyanyikannya. Yaitu melagukannya.

Aku tidak mengharamkan mendengarkan sya'ir, karena Nabi pernah mendengarkannya. Tetapi mereka itu -dalam masalah nasyid- meniti jalan orang-orang Shufi dalam nyanyian mereka -yang menurut anggapan mereka- membangkitkan perasaan.

Ibnul Jauzi telah menyebutkan di dalam kitab Naqdul Ilmi wal Ulama, hal. 230, dari Asy Syafi'i yang berkata,'Aku meninggalkan Iraq, (sedangkan di sana) ada sesuatu yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang munafiq, menyimpang). Mereka menyibukkan manusia dengannya dari Al Qur'an. Mereka menamakannya dengan taghbiir.'

(Ibnul Jauzi menyatakan) Abu Manshur Al Azhari mengatakan, "Al Mughbirah ialah satu kaum yang mengulang-ulang dzikrullah, doa, dan permohonan (kepada Allah). Sya'ir tentang dzikrullah yang mereka nyanyikan disebut taghbiir. Seolah-olah ketika orang banyak menyaksikan sya'ir-sya'ir yang dilagukan itu, mereka bergoyang dan berdansa. Maka, merekapun dinamakan mughbirah dengan makna ini."

Az Zujaj berkata,'Mereka dinamakan mughbirin (orang-orang yang melakukan taghbiir), karena mereka mengajak manusia zuhud dari barang fana di dunia ini, dan mendorong mereka tentang akhirat.'

Aku (Syaikh Ahmad bin Yahya) katakan: Perkara orang-orang Shufi itu mengherankan. Mereka menyangka mengajak manusia zuhud di dunia ini dengan nyanyian, dan mendorong mereka tentang akhirat dengan nyanyian. Apakah nyanyian itu menyebabkan zuhud di dunia ini, dan mendorong masalah akhirat? Atau sebaliknya itu yang benar?!

Aku tidak ragu, dan semua orang yang memahami dari Allah dan Rasul-Nya tidak meragukan. Bahwasanya nyanyian hanyalah akan mendorong kepada dunia dan menjadikan zuhud terhadap akhirat, juga merusak akhlak.

Dengan tambahan, jika mereka niatkan untuk mendorong tentang akhirat, maka hal itu ibadah. Sedangkan ibadah, jika tidak disyari'atkan oleh Allah dan RasulNya, maka merupakan bid'ah yang baru. Oleh karena inilah kami katakan: Sesungguhnya nasyid-nasyid adalah bid'ah. [Dari kitab beliau Al Mauridul 'Adzbil Zilal, hal. 196, diberi pengantar oleh Syaikh Rabi' bin Hadi dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 42-43.]

Pendapat Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh

Adapun mendengarkan nyanyian-nyanyian yang dilagukan dan qasidah-qasidah yang mengajak zuhud; inilah yang dinamakan pada zaman dahulu dengan taghbiir. Hal itu, sejenis memukul kulit dan menyanyikan qasidah-qasidah yang mengajak zuhud. Dilakukan oleh sekelompok orang-orang Shufi untuk menyibukkan manusia dengan qasidah-qasidah yang mendorong kepada negeri akhirat dan zuhud di dunia, meninggalkan nyanyian (umum), kemaksiatan, dan semacamnya.

Para ulama telah mengingkari taghbiir dan mendengarkan qasidah-qasidah yang dilagukan, yakni dengan lagu-lagu bid'ah. Lagu-lagu orang-orang Shufi yang menyerupai nyanyian. Para ulama memandangnya termasuk bid'ah. Alasan, bahwa hal itu bid'ah, (sudah) jelas. Karena hal itu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal sudah diketahui, bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak boleh kecuali dengan apa yang Dia syari'atkan. Inilah qasidah-qasidah yang dilakukan pada zaman dahulu. Dan pada zaman sekarang diambil oleh orang-orang Shufi. Ini adalah bid'ah, yang diada-adakan. Tidak boleh melembutkan hati dengannya. [Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 44.]

Pendapat Syaikh Bakr Abu Zaid

Beribadah dengan sya'ir dan bernasyid dalam bentuk dzikir, doa, dan wirid-wirid merupakan bid'ah yang baru. Pada akhir-akhir abad dua hijriyah, orang-orang zindiq memasukkannya ke dalam kaum muslimin di kota Baghdad dengan nama taghbiir. Asalnya dari perbuatan Nashara dalam peribadahan-peribadahan mereka yang bid'ah dan nyanyian-nyanyian mereka.

Bahkan jelas bagiku, bahwa beribadah dengan menyanyikan sya'ir, mengucapkannya sebagai mantra, termasuk warisan-warisan paganisme Yunani sebelum diutusnya Nabi Isa. Karena kebiasaan orang-orang Yunani dan orang-orang musyrik yang lain mendendangkan nyanyian permohonan perlindungan dan mantra-mantra kepada Hurmus di majelis-majelis dzikir.

Maka lihatlah, bagaimana bid'ah ini menjalar kepada orang-orang Shufi yang bodoh dari kalangan kaum muslimin dengan sanad paling rusak yang dikenal dunia, yaitu orang zindiq, dari orang Nashrani, dari orang musyrik. Setelah ini, bolehkah seorang muslim menjadikan nasyid sebagai wirid, tugas dalam dzikir, hijb, dan mantra? [Dari kitab Tash-hihud Du'a, hal. 96; dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 45.]

Sebelumnya, beliau juga menyebutkan bid'ah-bid'ah yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang berdzikir dan berdoa, sebagai berikut:

* Bergoyang, bergerak, dan bergoncang di saat dzikir dan doa, sebagaimana perbuatan orang-orang Yahudi.

* Dzikir dan doa dengan lagu-lagu dan irama-irama, sebagaimana perbuatan orang-orang Yahudi.

* Dzikir dan doa dengan keras dan teriakan, sebagaimana perbuatan orang-orang Shufi yang sesat.

* Beribadah dengan sya'ir dan bernasyid, sebagaimana perbuatan orang-orang Shufi yang sesat.

* Tepuk tangan bersama dzikir dan doa, sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik, dan orang-orang Shufi yang sesat mengambil dari mereka.[Dari kitab Tash-hihud Du'a, hal. 78; dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 46.]

Demikianlah diantara fatwa-fatwa ulama tentang nasyid. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

(sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H-2003M)
http://www.salafyoon.net/fiqih/hukum-nasyid-1.html
http://www.salafyoon.net/fiqih/hukum-nasyid-2.html

Semoga bermanfaat....



Catatan Terkait:

BENARKAN NABI BERNASYID..?
http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=10150220015025175

BAGAIMANA HUKUM NYANYIAN & ALAT MUSIK DALAM ISLAM?
http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=198776715174
Read More..

MENUJU TAUBAT SEJATI



Sahabat sekalian, jika jauh di dalam qalbu anda sudah ada ada kebutuhan untuk mencari Allah, ingin tenteram, ingin mengetahui agama lebih baik, atau gelisah mencari kesejatian, maka ketahuilah bahwa Allah masih berkenan memanggil anda untuk bertaubat.

Taubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah. Manusia sama sekali tidak bisa membuat dirinya sendiri ingin bertaubat. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan bertaubat di dalam kalbu anda.

Sebagaimana firman-Nya:

“Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS 20:122)

“Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mempu menempuh jalan itu kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. 76:29-30)

“…Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat mengendaki (menenempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. 81: 28-29)



Keinginan Taubat

Keinginan taubat itu timbul karena dipilih-Nya. Maka dari itu, jika sekarang dalam hati anda mulai tumbuh kegelisahan makna hidup, atau keinginan kembali kepada-Nya, mulai timbul keinginan akan ketentraman bersama-Nya, mulai ingin mencari jalan-jalan yang mendekatkan diri kita kepada-Nya, Itu adalah panggilan-Nya. Maka sambutlah panggilan-Nya itu.

Jika kemudian mulai tumbuh perilaku kita yang ‘mencari jejak-Nya’, seperti mencari-cari pengajian yang baik, mencari-cari bahan di internet, mulai mencari-cari buku tentang Tuhan dan agama, maka syukurilah. Ini berarti bahwa Dia masih mengingat anda. Dia masih memanggil anda untuk mendekat, untuk pulang kepada-Nya. Dia masih menghendaki anda kembali kepada-Nya. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan ini dalam hati anda.

Oleh karena itu, janganlah kita sia-siakan kesempatan ini. Jangan abaikan panggilan-Nya ini. Jangan sampai dia merasa panggilan-Nya kita abaikan. Karena sebagaimana kita pun, jika orang yang kita harapkan terus mengabaikan kita, lama-kelamaan kita pun akan melupakan orang itu. Camkanlah, bahwa tidak setiap orang akan dipanggil-Nya. Tidak setiap orang terpilih untuk ditaubatkan-Nya. Sangat sedikit orang yang ditumbuhkan keinginan untuk mulai mencari Allah di dalam hatinya.

Perhatikanlah, bahwa amat banyak orang mencari pengajian dengan niat mencari kawan, mencari kelompok, mencari pengakuan orang lain sebagai ‘orang pengajian’, mencari ketentraman sesaat, meniti karir di partai politik, mencari hapalan dan pengetahuan ayat, mencari bahan diskusi, dan sebagainya. Sangat sedikit, sekali lagi sangat sedikit, orang yang benar-benar mencari pemahaman akan hakikat hidup maupun kesejatian (Al-Haqq).

Jika kita tidak mau bertaubat, tidak mengindahkan panggilan-Nya itu, maka kita termasuk orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.

“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)

Jika panggilan-Nya ini kita abaikan, maka kita akan semakin berputar-putar saja di dunia ini, dan kalbu kita akan semakin buta saja. Oleh karena itu, akan semakin susah sajalah kita memperoleh petunjuk-Nya, ketika kalbu kita menjadi buta.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS 20:124)

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah qalb-qalb (quluubun) yang ada di dalam dada.” (QS 22:46)



Apakah ‘Taubat’ ?

Apakah ‘taubat’ itu? Taubat bukanlah istighfar. Hanya semata mengucapkan ‘astaghfirullah’, walaupun seribu kali, bukanlah taubat. Sebagaimana qur’an mengatakan,

“Karena itu beristighfarlah kepada-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya” (QS. 11:61).

Maka, dari ayat di atas, jelas nampak bahwa Istighfar dan taubat adalah dua hal yang berbeda.

Kata ‘taubat’ berasal dari kata ‘taaba’, artinya ‘kembali’. Taubat adalah sebuah ‘keinginan’, kegandrungan, kebutuhan akan Allah, maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenal-Nya. Oleh karena itu, landasan taubat adalah mencari Allah, mencari kesejatian, mencari hakikat kehidupan ini. Orang bisa saja mengucap istighfar ribuan kali sehari, tapi sama sekali tidak bertaubat.

Orang bisa zikir ribuan kali, dengan niat supaya cerdas, supaya sakti, supaya bisa mengobati, supaya karir bagus, supaya lulus ujian, macam-macam. Rajin shalat malam, supaya berwajah cerah dan cantik. Rajin puasa, supaya sehat, supaya tidak gemuk. Di mana Allahnya? Mungkin Allah kita tempatkan nomor dua atau tiga.

Maka dari itu, pertama sekali, kita murnikan niat kita dahulu. Kita niatkan semuanya hanya untuk kembali kepada-Nya (taubat), supaya semakin diberi-Nya petunjuk bagaimana taubat yang benar itu. Supaya diajari-Nya hakikat kehidupan ini.

Junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw mengucapkan do’a berikut ini, yang dibaca setiap kali Beliau selesai berwudhu:

“Allahummaj’alni minat-tawwabiin, waj ‘alni minal muthahhiriin.”

“Ya Allah, jadikan hamba termasuk ke dalam ‘At-Tawwabiin’ (mereka yang bertaubat), dan jadikan hamba termasuk ke dalam ‘Al-Muthahhiriin’ (mereka yang disucikan).”

Bahkan Rasulullah Saw pun masih memohon kepada Allah untuk dimasukkan ke dalam golongan orang yang bertaubat. Bukankah Rasulullah telah suci, bebas dosa, dan telah dijamin surga oleh Allah ta’ala?



Makna ‘Zalim’

Jika kita tidak kembali kepada Allah (taubat), maka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.

“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)

Padahal, Allah tidak akan pernah memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim. Ketegasan-Nya ini diulang berkali-kali dalam Al-Qur’an, sebagai peringatan supaya kita benar-benar memperhatikan hal ini.

“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (2:258)”

“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (5:151)

Demikian pula kalimat yang sama bisa kita temukan pada Q.S. 6:144, 9:19, 9:109, dan 28:50.

Maka dari itu, jika kita tidak bertaubat, tidak berusaha kembali kepadaNya, maka kita akan semakin sesat saja. Bahkan hal ini ditegaskanNya bahwa ia akan menyesatkan mereka yang zalim.

“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim (14:27).”

Jika kita tidak bertaubat, kembali pada Allah, maka sudah barang tentu akan semakin jauh saja kita dari petunjuk-Nya. Hidup kita pun dengan sendirinya akan terlempar-lempar dari satu masalah ke masalah yang lainnya saja, jauh dari petunjuk-Nya.



Implikasi Ke’Mahapengampun’an Allah

Kita mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun. Tapi, Maha Pengampun terhadap siapa?

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. 20:82).

Allah Maha Pengampun pada yang bertaubat (saja). Jika kita bertaubat, kembali kepada-Nya, maka barulah asma ‘Maha Pengampun’ ada implikasinya terhadap kita. Jika kita misalnya dikenal sebagai orang yang pemaaf, tentu sifat pemaaf kita tidak ada implikasinya terhadap orang yang tidak kita kenal. Jadi, kepemaafan kita berlaku pada orang tertentu saja, tidak dengan sendirinya pada semua orang.

Demikian pula Allah. Dia Maha Pengampun (hanya) kepada mereka yang bertaubat. Kepada yang tidak bertaubat, walaupun dia dikenal dengan Maha Pengampun, tentunya tidak ada hubungannya. Ke-Maha Pengampunan-Nya tidak ada implikasinya sama sekali kepada mereka yang tidak bertaubat, kepada mereka yang tidak berusaha kembali kepada-Nya.

Jika kita hanya istighfar saja, maka belum tentu Allah Maha Pengampun kepada kita. Tapi jika kita bertaubat, kemudian memperbaiki diri, maka Allah Maha Pengampun kepada kita. Taubat –harus– diikuti dengan memperbaiki diri, supaya taubat kita diterima oleh-Nya.

Demikianlah yang kita lihat pada ayat-ayat berikut ini:

“Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:39)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24:5)

“Barangsiapa yang berbuat kejahatan diantara kamu karena kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 6:54)



Jalaluddin Rumi tentang Taubat

Sebagai penutup tulisan tentang taubat, mari kita hayati penggalan puisi hasil fana Jalaluddin Rumi di bawah ini:

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.

Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Begitulah caranya!

Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,

karena Aku-lah jalan itu.”

Wallahu ‘alam, Semoga bermanfaat.
Read More..

Kamis, 05 Mei 2011

Fadhilah Istighfar

Pernah suatu ketika Imam Hasan al-Basri didatangi oleh tamu. Tamu pertama, menyampaikan perihal kekeringan, Tamu kedua, perihal hutang, tamu ketiga, perihal keturunan. Imam Hasan al-Basri menjawab semua keluhan ketiga tamunya dengan memba...cakan satu ayat di dalam al-Quran.

'Mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebatnya, melimpahkan harta dan anaka-anak bagimu, serta mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu. (QS. an-Nuh: 10-12).

Paling tidak ada empat fadhilah Istighfar yang terkandung di dalam tiga ayat di dalam surat Nuh. Mari kita kita perhatikan fadhilah istighfar berikut dibawah ini.

Pertama, orang yang memiliki kebiasaan beristighfar tidak akan mengalami kekeringan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan selalu melimpahkan air hujan tanpa harus menjadi banjir atau mencana bagi orang tersebut.

Kedua, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah akan senantiasa mengucurkan rizki dan menghindarkan diri kita dari lilitan hutang sehingga harta yang kita miliki menjadi membawa berkah bagi diri kita dan keluarga kita maupun untuk orang-orang sekeliling kita.

Ketiga, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah akan memberikan momongan atau anak-anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga di dalam keluarga memiliki ketenteraman dan kebahagiaan selalu.

Keempat, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memberikan kita tempat usaha yang diberkahi dengan digambarkan dengan memberikan kebun dan sungai-sungai dengan pemandangan yang indah.

Dari keempat fadhilah istighfar diatas bahwa beristighfar adalah kemampuan kita untuk melakukan instropeksi diri atau yang disebut dengan 'Muhasabah' maka kita mengetahui penyebab akar masalah sekaligus kita menemukan solusi dari masalah itu sendiri. Itulah makna fadhillah istighfar.
Wassalam

sumber:Kumpulan Sahabat Dalam Berbagi
Read More..
Design by Zulfa Visit me on Facebook